Senin, 19 Januari 2015

Agama dan Masyarakat




A.   Pengertian Agama
Para pakar memiliki beragama pengertian tentang agama. Secara etimologi, kata “agama” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India. Agama terdiri dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau. Dengan demikian, agama adalah sejenis peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju keteraturan dan ketertiban.

http://4.bp.blogspot.com/-kMg9lXmSXqM/T46wa7isBGI/AAAAAAAAACM/pwbzoF0wBvY/s200/traditions1.jpg
 Ada pula yang menyatakan bahwa agama terangkai dari dua kata, yaitu a yang berarti “tidak”, dan gam yang berarti “pergi”, tetap di tempat, kekal-eternal, terwariskan secara turun temurun. Pemaknaan seperti itu memang tidak salah karena dala agama terkandung nilai-nilai universal yang abadi, tetap, dan berlaku sepanjang masa. Sementara akhiranya hanya memberi sifat tentang kekekalan dankarena itu merupakan bentuk keadaan yang kekal. Ada juga  yang menyatakan bahwa agama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: a-ga-ma. A berarti awang-awang , kosong atau hampa. Ga berarti tempat yang dalam bahasa Bali disebut genah.  Sementara ma berarti matahari, terang atau sinar. Dari situ lalu diambil satu pengertian bahwa agama adalah pelajaran yang menguraikan teta cara yang semuanya penuh misteri kareana Tuhan dianggap bersifat rahasia.

Kata tersebut juga kerap berawalan i dan atau u,  dengan demikian masing-masing berbunyi igama  dan ugama. Sebagian ahli menyatakan bahwa agama-igama-ugama adalah koda kata yang telah lama dipraktikkan masyarakat Bali. Orang Bali memaknai agama  sebagai peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia denga raja. Sedangkan igama adalah tata cara yang mengatur hubungan manusia denga dewa-dewa. Sementara ugama dipahami sebagai tata cara yang mengatur hubungan antamanusia.
Dalam bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris, ada kata yang mirip sekaligus memilliki kesamaan makna dengan kata “gam”. Yaitu ga atau gaa dalam bahasa Belanda; gein dalam bahasa Jerman, dan go dalam bahasa Inggris. Kesemuanya memiliki makna yang sama atau mirip, yaiut pegi. Setelah mendapatkan awalan dan akhiran a, ia mengalami perubahan makna. Dari bermakna pergi  berubah menjadi jalan. Kemiripan seperti ini mudah dimaklumi karena bahasa Sansekerta, Belanda, Jerman, dan Inggris, kesemuanya termasuk rumpun bahasa Indo-Jerman.
Selain itu, dikenal pula istilah religion bahasa Inggris, religio atau religi  dalam bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab, dan dien dalam bahasa Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki kemiripan makna dengan kata “agama” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu. Religious (Inggris) berarti kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan. Yang lain menyatakan bahwa religion adalah: (1) keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu.
Menurut Olaf Scuhman, baik religion maupun religio, keduanya berasala dari akar kata yang sama, yaitu religare   yang berarti “mengikat kembal”, atau dari kata relegere yang berarti “menjauhkan, menolak, melalui”. Arti yang kedua, relegere dipegang oleh pujangga ada filosof Romawi Cicero dan Teolog Protestan Karl Barth, dan sebab itu mereka melihat religio sebagai usaha manusia yang hendak memaksa Tuhan untuk memberikan sesuatu, lalu manusia menjauhkan diri lagi. 
Sedangkan arti yang pertama, religare, dipegang oleh gereja Latin (Roma Katolik). Erasmus dari Rotterdam (1469-1539) menyatakan bahwa paham ini dikaitkan dengan sikap manusia yang benar terhadap Tuhan. Benar pula, karena ajara-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia yang mempercayainya. Agama (religio) dalam arti religare juga berfungsi untuk merekatkan pelbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri manusia, diri orang per orang atau diri sekelompok orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam sekitarnya.
Sementara Sayyed Hossein Nasr mengatakan “religare” yang berarti “mengikat” merupakan lawan dari “membebaskan”. Ajaran Sepuluh Perintah (Ten Commandments) ya ng membentuk fondasi moralitas Yahudi dan Kristen terdiri dari sejumlah pernyataan “janganlah kamu”, yang menunjukkan suatu pembatasan dan bukan pembebasan .
Agama juga disebut dengan istilah din. Dalam bahasa Semit, din  berarti undang-undang atau hokum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.
Bila lafal din disebutkan dalam rangkaian din-ullah, maka dipandang datangnya agama itu dari Allh, bila disebut dinunnabi dipandang nabilah yang melahirkan dan menyiarkan, bila disebut dinul-ummah, karena dipandang manusialah yang diwajibkan memeluk dan menjalankan. Ad-din bisa juga berarti syari’ah: yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyari’atkan oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja, dan dibedakan kepada kaum muslimin untuk melaksanakannya, dalam mengikat hubungan mereka dengan Allah dan dengan manusia. Ad-din berarti millah, yaitu mengikat.

Maksud agama ialah untuk mempersatukan segala pemeluk-pemeluknya, dan mengikat mereka dalam suatu ikatan yang erat sehingga merupakan batu pembangunan, atau mengingat bahwa, hokum-hukum agama itu dibukukan atau didewankan. Ad-din berarti nasihat, seperti dalam hadis dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Ad-dinu nasihah. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, bagi siapa?” Beliau menjelaskan: “Bagi Allah dan kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan bagi para pemimpin muslimin dan bagi seluruh muslimin.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad).
Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa ada lima unsur yang perlu  mendapat perhatian bisa memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan agam yang jelas serta utuh. Kelima unsure itu adalah: Allah, kitab, rasul, pemimpin dan umat, baik mengenai arti masing-masing maupun kedudukan serta hubungannya satu denagn lainnya.
Pengertian tersebut telah mencakup dalam makna nasihat. Imam Ragib dalam kita Al-Mufradaat fii Ghariibil Qur’an, dan Imam Nawawi dalam Syarh Arba’in menerangkan bahwa nasihat itu maknanya sama dengan menjahit (al-khayyaatu an-nasihuu) yaitu menempatkan serta menghubungkan bagian (unsur) yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Mukti Ali mengatakan, agama adalah percaya pada adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada utusanNya bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Mukti Ali membatasi pengertian agama pada kepercayaan dan hokum. Mehdi Ha’iri Yazdi berpendapat, agama adalah kepercayaan kepada Yang Mulak atau Kehendak Mutklak sebegai kepedulian tertinggi. Pengertian inimenjadikan Tuhan sebagai focus perhatian dan kepedulian tertinggi agama sehingga agama cenderung mengabaikan persoalan kemanusiaan. Agama akhirnya bersifat teosentris, tanpa perhatian yang cukup terhadap soal-soal kemiskinan dan keterbelakangan umat.

Harun Nasution mengemukakan pelbagai pengertian tentang agama yang dikemukakan sejumlah ahli, yaitu: (1) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai manusia; (3) mengikatkan diri  pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; (4) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; (5) suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib; (6) pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; (7) pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari \perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat di alam sekitar manusia; (8) ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

B.    Fungsi Dan Tujuan Agama
Menurut Abuddin Nata sekurang-kurangnya hanya ada tiga alasan perlunya manusia terhadapa agama, yakni: Pertama, latar belakang fitah manusia. Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buta pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan manusia.
Kedua, alasan lain mengapa manusia perlu beragama menurut  Abuddin Nata adalah kelemahan dan kekurangan  manusia. Alasan inipun kelihatannya bisa diterima, di samping karena keterbatasan akal manusia untuk menentukan hal-hal yang di luar kekuatan pikiran manusia itu sendiri, juga karena manusia sendiri merupakan makhluk dha’if (lemah) yang sangat memerlukan agama.

Ketiga, adanya tantangan manusia. Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan syetan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya memalingkan manusia dari Tuhan.
  
C.    Dimensi (Unsur-Unsur) Agama
Demikian kompleksnya pendefinisian agama. Definisi yang dikemukakan para ahli itu pun tidak selalu komprehensif. Sebagian tampak parsial karena hanya menyangkut sebagian dari realitas agama. Definisi adalah suatu batasan, sementara agama tak bisa dibatasi. Namun, untuk memudahkan, perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang lazim menyangga suatu agama. Harun Nasution menyimpulkan, agama memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada keuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan laranagan keuatan gaib itu. Mengacu pada unsur yang pertama, dapat dikatakan bahwa agama sesungguhnya berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris atau supra empiris.
Kedua, keyakinan bahwa kesejahteraan di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
Ketiga, respons manusia yang bersifat emosional. Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut seperti pada agama-agama primitive atau perasaan cinta seperti agama-agama monoteisme. Selanjutnya, respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitf, atau pemujaan yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi, respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat, paham adanya yang kudus dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu. Dari segi psikologi, L. B. Brown mengatakan dalam bukunya Psychology and Religion memberikan lima variabel agama, yang meliputi:
Pertama, tingkah laku (behaviour) atau praktek-praktek yang menggambrakan keadaan agama, dikembangkan biasanya melalui kerap tidaknya pergi ke gereja, membaca injil dan sebagainya.
Kedua, renungan suci dan iman (belief), iman biasanya dihubungkan dengan kerangka kepercayaan yang umum dan yang khusus tertentu.
Ketiga, perasaan keagamaan atau pengalaman (experience) dan kesadaran tentang sesuatu yang transeden yang dapat memberikan dasar yang kokoh bagi kehidupan keagamaan.
Keempat, keterikatan (involvement) dengan suatu jama’ah yang menyatakan diri sebagai institusi nilai, sikap atau kepercayaan. Dan yang kelima, consequential effects dari pandangan-pandangan keagamaan dalam tingkah laku yang non-agama dan dalam tingkah laku moral. 


Masyarakat
1.      Pengertian Masyarakat
Masyarakat (society) diartikan sebagai sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Adapun pengertian masyarakat menurut para ahli adalah :
a.Selo Soemardjan, Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b. Max Weber, Masyarakat sebagai suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya.
c.  Emile Durkheim, Masyarakat adalah suatu kenyataan objektif
individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
d. Karl Marx, Masyarakat adalah suatu struktur yang menderita ketegangan organisasi ataupun perkembangan karena adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terpecah-pecah secara ekonomis.

2.      Proses Terbentuknya Masyarakat
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang proses terbenruknya masyarakat sekaligus problem-problem yang ada sebagai proses-proses yang sedang berjalan atau bergeser, kita memerlukan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk menganalisa proses terbentuk dan tergesernya masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut dinamik sosial (social dynamic),  yaitu :
a.       Proses Belajar Kebudayaan Sendiri
1)Proses Internalisasi. Manusia mempunyai bakat tersendiri dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi kepribadiannya. Tetapi wujud dari kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang ada di sekitar alam dan lingkungan sosial dan budayanya. Maka proses internalisasi yang dimaksud adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala hasrat, perasaan, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
2)Proses Sosialisasi. Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekililingnya.
3)Proses Enkulturasi. Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Kata enkulturasi dalam bahas Indonesia juga berarti “pembudayaan”.
b.      Proses Evolusi Sosial
Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisa oleh seorang peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic), atau dapat juga dipandang dari jauh hanya dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang besar saja (macroscopic). Proses evolusi sosial budaya yang dianalisa secara detail akan membuka mata seorang peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari dalam masyarakat di dunia.
c.       Proses Difusi
Penyebaran Manusia. Ilmu Paleoantropologi memperkirakan bahwa manusia terjadi di daerah Sabana tropikal di Afrika Timur, dan sekarang makhluk itu sudah menduduki hampir seluruh permukaan bumi ini. Hal ini dapat diterangkan dengan dengan adanya proses pembiakan dan gerka penyebaran atau migrasi-migrasi yang disertai dengan proses adpatsi fisik dan sosial budaya.
d.      Akulturasi dan Pembauran atau Asimilasi
Akulturasi adalah Proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan demikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Asimilasi adalah Proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda. Kemudian saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan yang campuran.
e.       Pembauran atau Inovasi
Inovasi adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, dan dibuatnya produk-produk baru. Proses inovasi sangat erat kaitannya dengan teknologi dan ekonomi. Dalam suatu penemuan baru biasanya membutuhkan proses sosial yang panjang dan melalui dua tahap khusus yaitu discovery dan invention.

3.      Ciri-Ciri Masyarakat
Ciri-ciri suatu masyarakat pada umumnya sebagai berikut:
a.     Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang.
b. Bergaul dalam waktu cukup lama. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbul sistem komunikasidan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia.
c.  Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
d.  Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena mereka merasa dirinya terkait satu dengan yang lainnya.

4.      Golongan Masyarakat
a.       Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat pedesaan atau masyarakat desa. Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
b.      Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Bagi negara-negara sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Pada umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat kota.
c.       Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suattu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
Ciri-ciri masyarakat transisi adalah : adanya pergeseran dalam bidang pekerjaan, adanya pergeseran pada tingkat pendidikan, mengalami perubahan ke arah kemajuan, masyarakat sudah mulai terbuka dengan perubahan dan kemajuan zaman, tingkat mobilitas masyarakat tinggi dan biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota misalnya jalan raya.
 


Referensi:
- Abd. Moqsith Ghazali. Argumen Pluralisme Agama. Kata Kita, Jakarta, 2009.
- Drs. H. Achmad Gholib, MA . Study Islam, Pengantar Memahami Agama, al-Qur’an al Hadits dan Sejarah Peradaban Islam. Faza Media, 2006.
- Mujahid Abdul Manaf. Ilmu Perbandingan Agama. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.